Senin, 21 Mei 2012

Gangguan Distimik


Bentuk yang lebih ringan dari depresi tampaknya disebabkan oleh suatu perkembangan kronis yang sering kali bermula pada masa kanak-kanak atau masa remaja ( Klein, dkk., 2000). Sebelumnya, formulasi diagnostik dari tipe kesedihan yang kronis disebut “neurosis depresi” atau “kepribadian depresi” (Brody, 1995).  Disebut seperti itu dalam usaha memperhitungkan sejumlah ciri yang umumnya terkait dengan neurosis, bermula saat awal masa kanak-kanak, gangguan yang kronis dan umunya berada pada tingkat keparahan yang ringan. DSM menyebut bentuk depresi ini sebagai gangguan distimik (dysthymic disorder) , atau distimia (dysthimia), diambil dari bahasa Yunani yang berarti “buruk” dan thymos berarti “spirit”.
Orang dengan gangguan ini merasakan spiirt yang buruk sepanjang waktu, namun tidak mengalami depresi yang sangat parah seperti yang dialami oleh orang dengan gangguan depresi mayor. Sementara gangguan depresi mayor cenderung parah dan terbatas waktunya, gangguan ini relatif lebih ringan dan kronis, biasanya berlangsung selama beberapa tahun ( Klein, dkk., 2000). Perasaan depresi dan kesulita sosial terus ada bahkan setelah orang tersebut menampakkan kesembuhan. Resiko dari kambuh kembali cukup tinggi (Klein dkk., 2000).
Pada gangguan distimik, keluhan mengenai depresi dapat menjadi semacam pelengkap dari kehidupan orang tersebut sehingga bagian tak terpisahkan dari struktur kepribadian mereka. Keluhan terus-menerus dapat membuat orang lain menganggap individu pengeluh (Akiskal, 1983). Meski gangguan distimik lebih ringan daripada gangguan depresi mayor, mood tertekan dan self-esteem rendah terus-menerus dapat mempengaruhi fungsi pekerjaan dan sosial.

Sumber :
Greene, B., Nevid, JS., Rathus. 2005. Psikologi Abnormal. Jakarta : Penerbit Erlangga

Gangguan Konversi


Gangguan konversi menurut DSM IV (Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994)  adalah gangguan dengan karakteristik munculnya saru atau beberapa simtom neurologis (misalnya buta, lumpuh dll) yang tidak dapat dijelaskan dengan penjelasan medis maupun neurologis yang ada. Pada gangguan ini faktor psikologis berkaitan erat dengan awal dan keparahan gangguan. Menurut Davison & Neale (2001), pasien mungkin mengalami anesthesia, yaitu kelumpuhan sebagian atau seluruhnya pada tangan atau kaki, gangguan koordinasi dan kejang, rasa kesemutan, seperti digelitik, atau seperti ada sesuatu yang merambat pada kulit, tidak sensitif terhadap rasa sakit (kebal), serta kehilangan atau gangguan sensasi. Pasien juga mungkin mengalami gangguan penglihatan, misalnya tunnel vision (lapangan pandangan menjadi terbatas atau menyempit), aphonia (kehilangan suara), anomia (kehilangan atau hendaya dalam kemampuan penciuman).
Pada masal lampau, konversi ini dikenal dengan istilah hyteria. Gangguan ini biasanya mulai pada masa remaja atau dewasa muda, terutama setelah mereka mengalami stres dalam kehidupan. Pada gangguan ini pasien mungkin menampilkan apa yang disebut la belle indifference, yaitu sikap tidak peduli atau tidak menunjukkan perhatian terhadap penyakitnya. Namun perilaku ini juga tidak selalu muncul pada semua penderita konversi.
Freud (dalam Barlow & Durand, 1995) mengemukakan bahwa terdapat 4 proses dasar dalam pembentukan gangguan konversi :
1.      Individu mengalami peristiwa traumatik, hal ini oleh Freud dianggap awal munculnya beberapa konflik yang tidak diterima dan disadari.
2.      Konflik dan kecemasan yang dihasilkan tidak dapat diterima oleh ego, terjadi proses represi (membuat hal ini tidak disadari).
3.      Kecemasan semakin meningkat dan mengancam untuk meuncul ke kesadaran, sehingga orang tersebut cara tertentu “mengkonversikan” kedalam simtom fisik. Hal ini mengurangi tekanan bahwa ia harus mengatasi langsung konfliknya disebut primary gain (peristiwa yang dianggap memberi imbalan primer dan mempertahankan simtom konversi).
4.      Individu memperoleh perhatian dan simpati yang besar dari orang-orang sekitarnya dan mungkin juga dapat melarikan diri atau menghindar dari tugas atau situasi tertentu terdapat secondary gain.

Minggu, 20 Mei 2012

Gangguan Dismorfik Tubuh (Body Dismorphic Disorder)


Orang dengan gangguan dismorfik tubuh ( body dismorphic disorder/BDD) terpaku pada kerusakan fisik yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam hal penampilan mereka (APA, 2000). Mereka dapat mengahabiskan waktu berjam-jam untuk memeriksakan diri didepan cermin dan mengambil tindakan yang ekstrem untuk mencoba memperbaiki kerusakan yang dipersepsikan, bahkan menjalani operasi plastik yang tidak dibutuhkan. Lainnya dapat membuang setiap cermin dari rumah mereka agar tidak diingatkan akan cacat yang mencolok dari penampilan mereka. Orang dengan gangguan ini dapat percaya bahwa orang lain memandang diri mereka jelek atau berubah bentuk menjadi rusak dan bahwa penampilan fisik mereka yang tidak menarik mendorong orang lain untuk berpikir negatif tentang karakter atau harga diri mereka sebagai seorang manusia ( Rosen, 1996). Angka gangguan ini tidak diketahui secara jelas, karena banyak orang dengan gangguan ini yang gagal mencari bantuan atau mencoba untuk merahasiakan simtom mereka (Cororve & Gleaves, 2001). Orang dengan BDD sering menunjukkan pola berdandan atau mencuci, menata rambut secara kompulsif, dalam rangka mengoreksi kerusakan yang dipersepsikan.
Penanganan gangguan ini dengan teknik kognitif behavioral, paling sering pemaparan terhadap pencengahan respons dan restrukturisasi kognitif, juga mencapai hasil yang memberikan harapan (Cororve & Gleaves, 2001). Pemaparan dapat dilakukan dengan sengaja memuncullkan kerusakan yang dipersepsikan didepan umum, dan bukan menutupinya melalui penggunaan rias wajah atau pakaian. Pencengahan respons berfokus pada pemutusan ritual kompulsif, seperti memeriksa didepan cermin (misalnya, dengan menutup semua cermin dirumah) dan berdandan yang berlebihan. Dalam restrukturisasi kognitif, terapis menantang keyakinan klien yang terdistorsi mengenai penampilan fisiknya dengan cara menyemangati mereka untuk mengevaluasi keyakinan mereka dengan bukti yang jelas.
Sumber :
Greene, B., Nevid, JS., Rathus. 2005. Psikologi Abnormal. Jakarta : Penerbit Erlangga

Gangguan Afektif Musiman


Banyak orang yang melaporkan bahwa mood merek bervariasi sesua dengan cuaca. Untuk sejumlah orang, perubahan musim dari musim panas ke musim gugur dan musim dingin menyebabkan suatu tipe depresi yang disebut gangguan afektif (mood) musiman (seasonal affective disorder). Ciri- ciri dari gangguan ini mencakup rasa lelah, tidur yang berlebihan, lapar akan karbohidrat dan berat badan naik. Gangguan ini sering menghilang seiring awal munculnya musim semi. Hal tersebut lebih serinh mempengaruhi wanita daripada pria dan paling umum terjadi diantara dewasa muda.
Meski penyebab dari gangguan ini tidak diketahui, satu kemungkinannya adalah perubahan musiman pada cahaya merubah ritme biologis yang ada pada tubuh yang mengatur proses-proses seperti temperatur tubuh dan siklus tidaur-bangun (Lee dkk., 1998). Kemungkinan lain adalah bahwa bebepa bagian dari sistem saraf pusat mengalami defisiensi dalam transmisi serotonin neurotransmitter pengatur mood selama bulan-bulam musim dingin ( Schwartz dkk., 1997). Apa pun sebab yang mendasarinya, suatu percobaan dari terapi cahaya yang intens, disebut fototerapi, sering membantu dalam mengatasi depresi. Fototerapi terdiri dari pemaparan terhadap cahaya buatan yang terang selama beberapa jam sehari. cahaya buatan tersebut tampaknya mengganti kekurangan cahaya matahari yang seharusnya diperoleh orang tersebut. Pasien umumnya melaksanakan aktivitas-aktivitas harian mereka selama sesi fototerapi. Perbaikan biasanya terjadi beberapa hari fototerapi namun penanganan tersebut sepertinya diperlukan selama berlangsungnya musim dingin. Cahaya yang diarahkan pada mata cendrung lebih sukses dibanding cahaya yang diarahkan pada kulit (Sato, 1997).

Sumber :
Greene, B., Nevid, JS., Rathus. 2005. Psikologi Abnormal. Jakarta : Penerbit Erlangga

Dissociative Fugue


Fugue berasal dari bahasa Latin fugere yang berarti “melarikan diri”. Kata fugitive (pelarian/buronan) memiliki kata yang sama. Fugue sama seperti amnesia “dalam pelarian”. Adanya memori yang menghilang disertai pula dengan gejala meninggalkan rumah dan membentuk identitas baru (Davison & Neale, 2001). Seseorang yang mengalami hal ini dapat terkesan “normal” dan tidak menunjukkan tanda-tanda lain dari gangguan mental (Maldonado dkk, 1998). Orang tersebut mungkin tidak memikirkan masa lalu atau mungkin melaporkan masa lalu yang penuh dengan memori yang salah tanpa menyadari bahwa memori itu salah. Bila orang dengan amnesia tampak berjalan-jalan tanpa tujuan, orang dalam tahap fugue bertindak lebih bertujuan. Pola yang jarang terjadi adalah bila tahap fugue berlangsung selama beberapa bulan atau tahun serta mencakup perjalanan ke tempat yang jauh dan asumsi akan identitas yang baru. Individu-individu dapat mengasumsikan sebuah identitas yang lebih spontan dan lebih mudah bersosialisasi daripada dirinya yang dulu. Mereka dapat membangun keluarga baru dan bisnis yang sukses. Tahap fugue tidak dianggap sebagai psikotik karena orang yang memiliki gangguan ini dapat berpikir dan berperilaku cukup normal di kehidupan yang baru.
Fugue jarang terjadi dan diyakini hanya mempengaruhi 2 dari 1000 orang dalam populasi umum (APA, 2000). Gangguan ini paling banyak muncul dalam masa perang (Loewenstein, 1991) atau terbangkitkan karena adanya bencana maupun peristiwa lain yang sangat menekan. Hal ini yang utama disini adalah disosiasi dalam tahap fugue melindungi seseorang dari ingatan traumatis atau sumber pengalaman maupun konflik lain yang menyakitkan secara emosi (Maldonado dkk, 1998).
Penyebab dari gangguan ini adalah masalah psikologis. Faktor yang mendorong munculnya gangguan ini adalah keinginan yang sangat kuat untuk lari atau melepaskan diri dari pengalamn yang secara emosional menyakitkan individu. Individu memngalami gangguan mood atau gangguan kepribadian tertentu (misalnya bordeline, histrionik, dan skizoid) memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mengalami fugue disosiatif. Selain itu adanya riwayat kecelakaan kepala (head trauma) juga memungkinkan individu mengalami fugue.
Penanganan fugue relatif lebih mudah karena gangguan ini biasanya secara jelas berkaitan dengan tekanan kehidupan yang dialami individu pada saat tersebut. Agar episode ini tidak terulang lagi terapi biasanya diarahkan pada penyelesaian masalah yang saat itu sedang dialami ataupun meningkatkan kemampuan individu dalam melakukan berbagai mekanisme coping.  

Sumber :
Greene, B., Nevid, JS., Rathus. 2005. Psikologi Abnormal. Jakarta : Penerbit Erlangga
Fausiah, F., Widury, J. 2008. Psikologi Abnormal. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press)